Banjarmasin, Kalimantan Selata (ANTARA) – Agustus lalu, Richard Permana ditunjuk asosiasi Esport Indonesia (IESPA) untuk menukangi timnas Esport Indonesia yang dimandati untuk merebut satu medali emas pada SEA Games 2019 di Filipina.
Pengalaman Richard, pendiri salah satu tim esport terbaik di Indonesia, selama 19 tahun menggeluti dunia olahraga elektronik itu menjadi salah satu alasan kuat untuk memastikan timnas esport Indonesia berada di jalur yang tepat.
Ketika dijumpai di Banjarmasin, Sabtu, Richard yang menjadi salah satu pembicara tamu di simposium soal esport sebagai salah satu rangkaian acara Hari Olah Raga Nasional 2019, mengungkapkan jika esport bukan sekedar soal siapa yang jago bermain gim.
“Artinya menjadi atlet itu harus siap dengan daya tahan, ketahanan fisik dan lain sebagainya. Banyak sekali aspeknya agar atlet pro-gamer itu juara,” kata Richard kepada Antara.
Richard yang menjadi orang nomor satu di tim NXL, yang langganan mendulang prestasi di turnamen esport internasional, mengungkapkan latihan seorang atlet esport itu layaknya atlet olahraga lainnya, perlu latihan fisik dan kedisiplinan yang tinggi.
Biasanya atlet esport melakukan latihan fisik di gym selain itu juga ada juga kegiatan team bonding di kolam renang, ungkap mantan atlet pro gim CS dan CS.GO itu.
“Untuk pelatnas SEA Games ada kegiatan olah raga setiap hari dua jam dari jam 6-8 pagi.”
Sementara sesi latihan bermain gim bisa memakan waktu yang lebih variatif, tergantung tingkat kepintaran atlet.
Selain itu seorang atlet dengan intelegensi tinggi bisa menghabiskan hanya tiga jam untuk melakukan analisa, mengurai masalah dan mempersiapkan taktik dan strategi.
“Namun ada juga yang butuh, karena titel gimnya berat, delapan hingga sepuluh jam per hari karena tiga jam habis untuk menganalisa, dua jam habis untuk membuat strategi dan sisa waktu lima jam untuk latih tanding.
Di sini lah otak memainkan peranan pentingnya. Seperti halnya atlet catur dan bridge, atlet pro esport dituntut memiliki kemampuan analisa yang tak hanya mendalam namun juga cepat dalam mengambil keputusan.
“Habis latih tanding pun butuh pembahasan untuk dicatat untuk materi besok,” kata Richard.
Richard mengungkapkan berlaga di kejuaraan, yang bisa berlangsung dari pagi hingga dini hari, sangat lah kompetitif dan melelahkan.
Selain disiplin berlatih, tim harus mampu mengatur pola makan, istirahat dan menjaga mental yang kuat.
Berbeda dengan mereka yang hanya bermain gim untuk kesenangan yang tak membutuhkan semua bekal itu.
Profesional atau kecanduan?
Namun ada kekhawatiran di tengah masyarakat soal dampak kegiatan bermain gim video.
Dan tidak dipungkiri jika tidak sedikit kasus anak yang menderita kecanduan gim sehingga pendidikannya terbengkalai.
Benar jika permainan video bisa melatih ketrampilan motorik, koordinasi tangan dan mata, serta melatih penggunanya untuk berfikir kritis, ungkap Dr. Cempaka Thursina dari Divisi Neuropediatri, Departemen Neurologi FKKMK UGM.
Namun, permainan video juga bisa menimbulkan efek negatif seperti cedera, kecanduan, penggunaan obat-obatan stimulan dan sejumlah penyakit seperti gangguan kesehatan mata, degenerasi otot, sindrom metabolik hingga osteoporosis.
“Idealnya bermain gim jangan lebih dari 20 jam per minggu. Karena kalau sudah lebih dari itu bisa dimasukkan ke dalam kriteria gaming disorder,” kata Cempaka.
Di sini pengawasan dan pendampingan orang tua juga menjadi salah satu faktor penting. Richard pun mengakui itu.
“Ada salah satu mantan atlet saya yang putus SMA demi mengejar karir di esport,” ungkap Richard.
“Yang bisa saya rekomendasikan yaitu tetap fokus dulu studi. Kalau ingin menguji seberapa jago kalian jadi cikal bakal atlet gamer Indonesia namor satu coba uji waktu SMA dengan ikut turnamen yang ada dengan waktu yang terukur dan terkontrol.
“Nanti pada saat kuliah diseriusi satu level yang di atasnya. Selesai kuliah atau mau cuti kuliah, waktu diinvestasikan sungguh-sungguh untuk menguji satu atau satu setengah tahun jadi atlet esport.
“Sukses atau enggak. Kalau enggak sukses jangan coba-coba,” ingat Richard.
Di satu sisi, permainan video bisa menawarkan potensi dan peluang besar untuk berkembang menjadi suatu industri olah raga baru yang memiliki potensi ekonomi yang menjanjikan.
Namun di sisi lain, jika tidak dikelola secara profesional dan dipahami batasannya, maka permainan elektronik itu bisa menimbulkan dampak kesehatan mulai kecanduan, gangguan fisik dan mental, hingga dampak sosial dan budaya.
“Jangan sampai pendidikan terbengkalai hanya untuk menjadi atlet esport pro tapi dengan jalur yang tidak terukur dan terarah… akhirnya tiga, lima, sepuluh tahun tidak jadi apa-apa justru mengecewakan orang tua. Itu menyedihkan, jangan sampai seperti itu,” kata Richard.
Masalah lain yang tak kalah fundamental yang mengemuka saat ini adalah apakah esport bisa didefinisikan sebagai olah raga.
Esport memang telah dipertandingkan untuk pertama kali sebagai cabang olah raga eksebisi di Asian Games 2018 di Jakarta, namun belum mendapat pengakuan dari komite olimpiade internasional.
Pakar keilmuan olah raga Adang Suherman mengungkapkan jika saat ini belum ditemukan elemen penting bahwa esport adalah olah raga terutama karena minimnya kegiatan fisik sebagaimana dimaksud dalam olah raga.
Benar ada gerakan tangan dan cara merespon permainan, “namun masih diperlukan data empiris yang dikaji dalam perspektif tertentu termasuk tuntutan aktifitas fisik minimal dari WHO,” kata Adang.
Aktifitas fisik menurut WHO adalah kegiatan badaniah yang dilakukan oleh otot-otot rangka yang butuh pengeluaran energi.
“Namun demikian, kepentingan komersial dan bisnis yang cukup tinggi bisa menjadi kelemahan bagi komunitas olah raga untuk bisa menerima esport menjadi olah raga,” kata Adang.
Deputi Pemberdayaan Olah Raga Kementerian Pemuda dan Olah Raga Raden Isnanta mengungkapkan jika esport tak dipungkiri menjadi salah satu perhatian pemerintah saat ini.
“Ini barang baru dan kita harus menghadapi tantangan global karena faktanya esport ini digandrungi berjuta-juta orang.”
“PR terbesar adalah bagaimana kita mengkaji dan mengawal supaya tidak terjadi malpraktik sehingga tidak mengganggu dimensi kesehatan sosial, psikologis dan lainnya,” kata Isnanta.